( Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi )
Jambi, 29 Juni 2024 – Polaritas politik telah menjadi tantangan yang mendalam bagi banyak negara, termasuk Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir. Permasalahan ini tidak lagi terbatas pada elit politik, melainkan telah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, mengganggu hubungan antarwarga, dan mengancam kohesi sosial.
Eskalasi polarisasi politik dapat berdampak buruk pada stabilitas negara serta memperlambat kemajuan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan upaya konkret untuk mengatasi polarisasi ini guna memperkuat kesatuan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.
Polarisasi politik sering dipicu oleh sejumlah faktor kompleks yang saling terkait. Salah satunya adalah media sosial, yang memainkan peran sentral dalam memperburuk polarisasi.
Algoritma media sosial cenderung memperkuat pandangan yang sudah ada dengan menampilkan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna, yang pada akhirnya memperdalam jurang antarpendapat. Ini menguatkan keyakinan individu terhadap pendapatnya sendiri sambil menghambat toleransi terhadap pandangan yang berbeda.
Menurut Faris Budiman Annas dalam artikelnya tentang polarisasi di media sosial, polarisasi politik terjadi saat masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang berlawanan dalam preferensi, ideologi, keyakinan, atau kebijakan.
Retorika yang keras dan konfrontatif dalam diskusi publik, baik dari politisi, media massa, maupun tokoh masyarakat, juga ikut memperdalam pemisahan antara kelompok dengan pandangan politik yang berbeda. Isu-isu ketidakadilan ekonomi dan sosial sering menjadi pemicu utama polarisasi.
Ketimpangan dalam distribusi kekayaan ekonomi meningkatkan ketidakpuasan terhadap sistem politik, yang dimanfaatkan oleh kelompok politik untuk menguatkan dukungan mereka. Politik identitas, seperti yang berkaitan dengan etnis, agama, dan budaya, juga sering menjadi sumber polarisasi yang signifikan di berbagai negara
Menurut analisis dari Samuel Handlin, polarisasi politik yang tinggi di negara-negara seperti Bolivia, Ekuador, dan Venezuela sering kali muncul melalui mekanisme yang disebut populisme polarisasi. Dalam konteks ini, pihak luar politik memanfaatkan retorika anti-sistemik untuk menggalang dukungan bagi program-program kebijakan yang kontroversial dan berisiko tinggi.
Kehadiran atau absennya polarisasi populisme di Amerika Selatan dapat dijelaskan oleh krisis internal sebelum era politik kiri dan kekuatan infrastruktur mobilisasi politik sayap kiri setelah Perang Dingin, yang mempengaruhi pembentukan koalisi elit ideologis yang bisa jadi sempit atau luas.
Handlin juga menjelaskan bahwa sistem partai yang sangat terpolarisasi di Amerika Selatan berkembang melalui mekanisme populisme terpolarisasi.
Ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh dan gerakan populis yang tidak hanya menantang, tetapi sering kali berhasil memenangkan posisi kekuasaan eksekutif.
Mereka tidak hanya mempolitisasi dimensi politik yang pro-sistemik atau anti-sistemik, tetapi juga mengusulkan agenda-agenda program yang radikal dan sering bertentangan dengan status quo yang ada.
Dampak dari polarisasi politik yang ekstrem sangat merugikan masyarakat dan pemerintahan. Ini tidak hanya memperburuk ketegangan sosial dan mempengaruhi hubungan antarwarga, tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap institusi-institusi publik seperti pemerintah, parlemen, dan media.
Hal ini berpotensi menciptakan krisis legitimasi dan ketidakstabilan politik yang serius, serta menghambat proses pengambilan keputusan di pemerintahan dengan menghambat kemampuan untuk mencapai konsensus dan kompromi yang diperlukan untuk merumuskan kebijakan publik yang efektif.
Untuk mengatasi polarisasi politik dan memperkuat kohesi sosial, beberapa strategi kunci dapat diimplementasikan.
Pertama, dengan mendorong diskusi inklusif yang mempertemukan berbagai pandangan, dapat mengurangi prasangka dan meningkatkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat.
Kedua, meningkatkan pendidikan politik dan literasi media membantu masyarakat memilah informasi yang akurat serta mengembangkan sikap kritis terhadap narasi yang divisif.
Ketiga, pemerataan ekonomi dan sosial dapat mengurangi ketidakpuasan terhadap sistem politik dan memperkuat kepercayaan masyarakat.
Keempat, memperkuat institusi demokratis melalui reformasi kelembagaan untuk meningkatkan transparansi dan mekanisme pengawasan akan meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah.
Kelima, kerjasama antara pemerintah dan perusahaan teknologi dengan regulasi yang baik terhadap konten media sosial serta kampanye publik tentang pentingnya verifikasi informasi dapat mengurangi dampak negatif media sosial terhadap polarisasi politik secara signifikan. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat membangun masyarakat yang lebih bersatu dan stabil dalam konteks politik saat ini.
Beberapa negara telah berhasil menerapkan langkah-langkah ini dengan sukses untuk mengatasi polarisasi politik dan memperkuat kohesi sosial. Inisiatif seperti "Dialogue Circles" di Kanada, program pendidikan politik di Jerman, dan upaya literasi media di Finlandia telah membuktikan efektivitasnya dalam mengurangi polarisasi di masyarakat.
Indonesia, dengan keragaman budaya dan politiknya, memiliki tantangan unik dalam mengatasi polarisasi politik.
Langkah-langkah seperti integrasi pendidikan politik dalam kurikulum sekolah, peningkatan literasi media, dan transparansi pemerintah adalah langkah awal yang penting untuk memperkuat kohesi sosial dan membangun masyarakat yang harmonis serta produktif.
Pengelolaan media dengan tanggung jawab dan pengembangan platform untuk dialog publik yang inklusif juga dapat memberikan kontribusi besar dalam meredam polarisasi politik.
Dengan upaya bersama dari berbagai pihak, Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang lebih stabil, harmonis, dan progresif, yang mampu menghadapi tantangan global dengan lebih baik.