Menjaga Suara Kritis ketika Jurnalisme Berada di Ujung Tanduk Era Digital

Penulis: Muhammad AL HafizhM.I.Kom
 (Dosen UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi)

Jambinews.idBelakangan ini, saya merasa semakin terlibat dalam perdebatan tentang pengaturan konten jurnalistik di media digital. Sebagai seseorang yang sangat peduli dengan kebebasan pers dan peran jurnalisme dalam menjaga demokrasi, saya merasa perlu untuk mengungkapkan pandangan saya tentang masalah ini.

Saya mendengar banyak pembicaraan tentang draf RUU Penyiaran dari Badan Legislasi DPR, terutama terkait Pasal 50B Ayat (2) huruf c, yang menyatakan standar isi siaran (SIS) yaitu melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. 

Sebagai seorang yang percaya pada pentingnya jurnalisme investigasi dalam memeriksa kekuasaan dan mempertahankan akuntabilitas, saya merasa khawatir dengan pembatasan semacam ini. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang telah dijamin dalam UU No 40/1999 tentang Pers.

Dalam beberapa diskusi, saya mendengar berbagai pandangan tentang peran jurnalisme dalam ruang publik. Beberapa orang berpendapat bahwa jurnalisme seharusnya diperlakukan sebagai barang konsumsi yang tunduk pada hukum pasar dan logika algoritma untuk mencapai viralitas. Namun, bagi saya, jurnalisme bukan sekadar komoditas yang dijual dan dipertukarkan; itu adalah alat penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Saya juga mendengar pandangan tentang jurnalisme sebagai alat politik, terutama dalam budaya politik otoritarian di mana media sering digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pembatasan terhadap jurnalisme investigasi dapat memperkuat dominasi ideologis penguasa dan menekan suara-suara kritis yang sangat penting dalam menjaga demokrasi yang sehat.

Namun, bagi saya, jurnalisme harus dilihat sebagai barang publik yang berfungsi untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang akurat dan berimbang. Jurnalisme investigasi adalah alat penting dalam memeriksa penyalahgunaan kekuasaan dan memberikan suara kepada yang tidak terdengar. Pembatasan terhadap jurnalisme investigasi tidak hanya melemahkan peran pers sebagai pengawas kekuasaan, tetapi juga mengancam demokrasi itu sendiri.

Dalam dunia siber yang semakin dipenuhi dengan disinformasi politik di ruang digital, pentingnya jurnalisme yang kredibel dan berimbang menjadi semakin jelas. Jurnalisme yang menjaga tradisi media konvensional dan berfokus pada kualitas informasi adalah penting dalam menekan praktik politik yang tidak etis dan menjaga demokrasi yang sehat.

Oleh karena itu, saya percaya bahwa pengaturan yang menghapus intervensi otoritas politik terhadap media pers harus menjadi prioritas. Gagasan pelarangan jurnalisme investigasi dalam RUU Penyiaran adalah langkah mundur yang membahayakan kebebasan pers dan demokrasi. 

Kolaborasi antara media, pemerintah, dan platform digital melalui self-regulation dan public regulation adalah solusi terbaik untuk memastikan jurnalisme tetap menjadi barang publik yang melayani kepentingan masyarakat. 

Kebebasan pers dan jurnalisme investigasi adalah amanat reformasi yang harus kita jaga untuk menghapus intervensi otoritas politik terhadap media pers, demi menjaga kredibilitas dan fungsi demokratisnya.