Ketika berbicara tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, atau Cut Nyak Dhien mungkin menjadi yang pertama terlintas dalam benak kita. Namun, di sudut barat Pulau Sumatera, tepatnya di Kerinci, terdapat seorang perempuan pemberani yang tak boleh dilupakan: Hj. Fatimah, yang dikenal sebagai Srikandi Kerinci.
Hj. Fatimah, yang nama aslinya adalah Sudiah, memperoleh nama "Hj. Fatimah" setelah kembali dari tanah suci Mekkah. Nama ini terinspirasi dari Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW, sebagai simbol keteladanan dan keberanian perempuan. Hj. Fatimah memiliki suami bernama Ahmad dan dikaruniai beberapa anak perempuan serta seorang anak laki-laki bernama Srak bin Ahmad."
Hj. Fatimah bukan hanya sekadar nama dalam catatan sejarah lokal. Ia adalah simbol keberanian, pengorbanan, dan semangat juang perempuan Indonesia. Sebagai pejuang wanita, Hj. Fatimah telah menyaksikan ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyatnya. Ketika Belanda menunjukkan kebiadaban dan keluarganya menjadi korban, semangatnya untuk melawan penjajahan semakin berkobar.
Kisah heroiknya mencapai puncaknya ketika ia memutuskan untuk bergabung dalam barisan pejuang Kerinci. Dengan hanya bersenjatakan keris, Hj. Fatimah berdiri gagah di gerbang Desa Lolo Kecil, Kecamatan Bukit Kerman, memimpin perlawanan melawan tentara kolonial. Selama tiga hari pertempuran sengit, Hj. Fatimah dan para pejuang berhasil memberikan perlawanan sengit, bahkan ia secara pribadi menewaskan empat serdadu Belanda, termasuk seorang perwira berpangkat letnan.
Namun, keberanian Hj. Fatimah harus dibayar mahal. Ia gugur sebagai pahlawan di medan perang dan dimakamkan di Desa Lolo Kecil, Kecamatan Bukit Kerman. Meski raganya telah tiada, semangatnya terus hidup dalam ingatan rakyat Kerinci dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Ironisnya, kisah perjuangan Hj. Fatimah kerap terabaikan dalam narasi besar sejarah perjuangan nasional. Ia adalah salah satu dari banyak pahlawan daerah yang kontribusinya belum sepenuhnya diakui secara nasional. Padahal, keberaniannya menunjukkan bahwa perempuan Indonesia memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan.
Hj. Fatimah adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal gender. Ia adalah representasi dari perempuan Indonesia yang berani, tangguh, dan rela berkorban demi keadilan. Di tengah dunia yang terus berubah, nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Hj. Fatimah tetap relevan. Keberaniannya mengingatkan kita akan pentingnya mempertahankan prinsip, memperjuangkan kebenaran, dan tidak gentar menghadapi tantangan.
Mengingat kembali kisah Hj. Fatimah bukan hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi juga memberi pelajaran bagi generasi muda. Bahwa patriotisme bukan hanya milik mereka yang berada di panggung politik nasional, tetapi juga milik mereka yang berjuang dengan keberanian tanpa pamrih di pelosok negeri.
Sudah saatnya kisah Hj. Fatimah sebagai Srikandi Kerinci diangkat ke permukaan. Pemerintah daerah, komunitas sejarah, dan media memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan kembali cerita ini, memastikan bahwa perjuangan Hj. Fatimah tidak hilang ditelan waktu.
Ketika kita berbicara tentang pahlawan perempuan, nama Hj. Fatimah harus mendapat tempat yang layak. Ia bukan hanya pahlawan bagi masyarakat Kerinci, tetapi juga inspirasi bagi seluruh perempuan Indonesia. Mari kita jaga semangatnya tetap hidup, bukan hanya sebagai bagian dari sejarah, tetapi sebagai teladan yang terus menginspirasi generasi masa kini dan masa depan.
Edi Saputra, M.Ed, adalah Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi. Ia merupakan alumni International Islamic University Malaysia. Penulis dapat dihubungi melalui email edisaputra@uinjambi.ac.id.