Oleh : Adam Jordan (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi - NIM P2B124042 - Kelas A)
Di era digital saat ini, informasi mengalir deras dan opini publik tumbuh bebas melalui media sosial dan platform digital lainnya.
Namun, di tengah euforia demokrasi digital, kebebasan berekspresi justru menghadapi tantangan serius.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus yang menunjukkan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi suara masyarakat sipil.
Fenomena ini menjadi ancaman nyata bagi hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen internasional.
Kebebasan Berekspresi sebagai Pilar Demokrasi
Kebebasan berpendapat merupakan hak sipil dan politik yang dilindungi secara konstitusional.
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih lanjut, Indonesia juga terikat oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Hak ini bukan hanya kebebasan untuk berbicara, tetapi juga kebebasan untuk menerima dan menyampaikan informasi, termasuk melalui media sosial.
Dalam konteks negara demokrasi, kritik dan ekspresi dari warga negara adalah mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Tanpa kebebasan berekspresi, demokrasi kehilangan ruhnya.
UU ITE dan Ancaman terhadap HAM
Sayangnya, implementasi UU ITE sering kali bertentangan dengan semangat tersebut. Beberapa pasal seperti:
- Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik
- Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran kebencian
- Pasal 29 tentang ancaman kekerasan telah dianggap sebagai “pasal karet” karena bersifat multitafsir, tidak jelas batasannya, dan kerap digunakan untuk menjerat siapa saja yang menyampaikan kritik atau pendapat berbeda, terutama terhadap pejabat publik dan institusi negara.
Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum lebih fokus pada perlindungan terhadap nama baik individu atau kelompok tertentu ketimbang pada perlindungan terhadap hak berekspresi warga negara. Hal ini melahirkan iklim ketakutan dan “self-censorship” di masyarakat.
Konflik antara UU ITE dan Prinsip HAM
Hak asasi manusia memang dapat dibatasi, tetapi pembatasannya harus memenuhi tiga syarat menurut standar internasional:
- Legalitas: diatur dalam undang-undang yang jelas.
- Legitimasi: untuk tujuan yang sah, seperti menjaga ketertiban umum.
- Proposionalitas: pembatasan harus sebanding dengan tujuan.
Sayangnya, penerapan UU ITE sering kali tidak memenuhi ketiga unsur tersebut. Bahkan dalam Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa penghinaan harus menjadi delik aduan, bukan delik biasa. Namun, praktik di lapangan sering kali mengabaikan putusan ini.
Kasus-Kasus Terkini, bukti nyata Pelanggaran HAM, berikut beberapa kasus yang mencuat di media menunjukkan betapa rentannya kebebasan berekspresi:
Aktivis lingkungan yang mengkritik perusakan hutan dituntut karena “mencemarkan nama baik” perusahaan.
Mahasiswa yang memprotes kebijakan pemerintah melalui media sosial dilaporkan karena dianggap “menyebar kebencian.”
Jurnalis independen yang menyoroti korupsi lokal dilaporkan karena “mengganggu ketertiban umum.”
Semua kasus ini mengindikasikan adanya penyalahgunaan hukum untuk membungkam kritik.
Jika tidak dikoreksi, hal ini dapat membawa Indonesia ke arah negara yang otoriter secara digital, di mana ruang diskusi publik dikendalikan oleh kekuasaan.