Perlindungan Hak Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum Nasional: Antara Pengakuan Konstitusional dan Diskriminasi Struktural



Oleh: Alfin Yuza Pratama (P2B124023) 

(Hukum & HAM)


Konstitusi Indonesia melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. 


Dalam banyak pidato resmi, masyarakat adat juga sering disebut sebagai bagian integral dari kebudayaan nasional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: mereka justru kerap menjadi korban dari pembangunan, perampasan lahan, dan kebijakan negara yang tidak inklusif.


Pengakuan formal tersebut terbukti tidak serta-merta menjamin perlindungan substantif. Salah satu bukti paling nyata adalah masih maraknya konflik agraria antara masyarakat adat dan negara atau korporasi, akibat tumpang tindih antara wilayah adat dan konsesi tambang, hutan industri, maupun proyek infrastruktur. 


Ketika masyarakat adat memperjuangkan haknya, mereka malah dikriminalisasi atau dipaksa angkat kaki dari tanah leluhur mereka. Inilah bentuk nyata diskriminasi struktural—yakni ketika sistem hukum dan kebijakan justru tidak memberi ruang keadilan yang setara bagi kelompok yang secara konstitusional dijamin haknya.


Kondisi ini diperparah oleh belum adanya Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. Padahal, sudah lebih dari satu dekade rancangan undang-undang tersebut diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat sendiri. Ketidakjelasan hukum inilah yang membuat proses pengakuan masyarakat adat sangat bergantung pada kebijakan politik di daerah—yang tidak semua berpihak.


Padahal, masyarakat adat bukan hanya korban. Mereka adalah penjaga hutan, pengelola tanah secara berkelanjutan, dan pemelihara nilai-nilai lokal yang menjamin harmoni dengan alam. Di tengah krisis iklim dan degradasi lingkungan yang makin parah, menjaga hak masyarakat adat juga berarti menjaga masa depan ekologi bangsa.


Sudah saatnya negara menunaikan kewajibannya. Bukan hanya mengakui secara simbolik, tetapi memastikan perlindungan hukum yang kuat, pengakuan wilayah adat tanpa birokrasi diskriminatif, dan penghormatan terhadap sistem hukum adat yang hidup. Tanpa itu, pengakuan konstitusional hanya akan menjadi hiasan teks hukum, yang jauh dari kenyataan sosial.


 

Tentang Penulis:
[Alfin Yuza Pratama] NIM P2B124023 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi