Review Film “Hotel Sakura” (2025): Ketika Luka Batin Bertemu Teror Mistis ala Jepang


Jambinews.id - Di tengah dominasi film horor bertema kutukan desa dan ritual lokal, Hotel Sakura hadir sebagai angin segar. Film ini menyuguhkan kombinasi unik antara atmosfer horor klasik Jepang dan latar emosional yang kental khas drama Indonesia. 

Disutradarai oleh Khristo Damar Alam, naskah oleh Upi Avianto, dan dibintangi oleh Clara Bernadeth, Taskya Namya, serta Randy Martin, film ini menawarkan pengalaman menonton yang lebih reflektif ketimbang sekadar penuh teriakan.


SINOPSIS: Bertemu Ibu Lewat Pintu Dunia Lain

Sarah (Clara Bernadeth) masih menyimpan luka mendalam atas kematian ibunya. Dihantui rasa bersalah sejak remaja, ia menerima tawaran misterius untuk “bertemu kembali” dengan sang ibu melalui sebuah ritual mistik yang dilakukan di Hotel Sakura — sebuah penginapan tua dengan aura kematian. Namun, tempat itu justru membuka portal arwah kelam, dan Sarah dihadapkan pada sosok Setsuko, hantu Jepang dengan wajah penuh amarah dan kisah kelam yang belum usai.


✅ APA YANG MENONJOL DARI “HOTEL SAKURA”?


1. Atmosfer Lintas Budaya yang Unik

Visual muram, lantunan suara ambient bergaya Jepang, dan interior hotel yang sepi menambah kesan ganjil sekaligus mengancam. Nuansa “J‑horror” (Japanese horror) seperti Dark Water atau The Grudge terasa kuat, namun tetap dibalut dengan emosi khas cerita lokal.


2. Akting Clara Bernadeth yang Emosional

Sebagai pemeran utama, Clara menunjukkan performa yang sangat personal. Ia berhasil menghidupkan karakter wanita yang rapuh, penuh luka, tapi tetap kuat saat menghadapi teror supranatural. Penonton diajak menyelami trauma Sarah, bukan sekadar menunggu jumpscare.


3. Karakter Hantu yang Bermakna

Setsuko, sosok arwah dalam film ini, bukan sekadar hantu seram. Ia menjadi simbol rasa bersalah, dendam, dan luka yang diwariskan lintas generasi. Ini menjadikan Hotel Sakura lebih dari sekadar film horor—ia menyentuh sisi psikologis dan spiritual.


KELEMAHAN YANG PERLU DICATAT

  • Tempo yang Lambat
    Film ini tidak menawarkan horor cepat atau penuh kejutan. Untuk sebagian penonton, pacing yang lambat bisa terasa membosankan—meski buat sebagian lain justru menambah ketegangan.
  • Karakter Pendukung Kurang Terdalami
    Beberapa karakter pendukung seperti Nida (Taskya Namya) dan Randy terasa hanya sebagai pelengkap. Kehadiran aktor senior seperti Tio Pakusadewo pun hanya sebatas cameo.
  • Perpaduan Budaya yang Kurang Natural
    Walau menarik, menyatukan elemen horor Jepang dalam latar Indonesia kadang terasa dipaksakan, terutama dalam logika setting dan mitologi.