Skizofrenia : Memahami Gangguan, Bukan Menilai Penderitanya

Oleh : Nabilla Arselia, Ajeng Nur raidha Zamil, Oby Marlond (Psikologi, Fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, Universitas jambi)


Jambinews.id - Banyak dari kita pernah melihat seseorang berbicara sendiri, tampak kebingungan, atau merespons sesuatu yang tidak terlihat. Reaksi spontan masyarakat biasanya adalah takut atau menjauh. Padahal, kondisi tersebut tidak selalu berkaitan dengan hal-hal mistis maupun “kegilaan”, tetapi merupakan gangguan kesehatan mental yang dapat dijelaskan secara ilmiah: skizofrenia.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang membuat seseorang mengalami perubahan cara berpikir, merasakan, dan memandang realitas. Kondisi ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari, tetapi bukan berarti penderitanya berbahaya atau tidak bisa hidup mandiri. Dengan pengobatan dan dukungan yang tepat, banyak orang dengan skizofrenia (ODS) dapat menjalani hidup produktif seperti orang lain.


Memahami Skizofrenia dari Perspektif Psikologi

Dari sudut pandang psikologi dan psikiatri, skizofrenia adalah gangguan neuropsikiatri yang melibatkan ketidakseimbangan kimia otak serta faktor biologis, psikologis, dan lingkungan. Kondisi ini tidak muncul tiba-tiba dan tidak pernah disebabkan oleh kurangnya ibadah, gangguan supranatural, atau kemauan pribadi seseorang.
 
Skizofrenia mempengaruhi tiga aspek utama: pikiran, emosi, dan perilaku. Inilah sebabnya penderitanya dapat tampak “berbeda” dalam berperilaku, tetapi bukan berarti mereka tidak bisa dibantu.
  • Gejala yang Perlu Dikenali
Gejala skizofrenia biasanya terbagi menjadi tiga kelompok:

1. Gejala Positif
  • Halusinasi
Biasanya berupa halusinasi pendengaran, seperti mendengar suara yang orang lain tidak dengar. Ini bukan mengada-ada, tetapi persepsi yang terasa nyata bagi penderitanya.
  • Delusi (keyakinan keliru)
Misalnya merasa diawasi, diikuti, atau memiliki kemampuan khusus.
Delusi bukan sikap keras kepala, melainkan perubahan cara otak memproses informasi.
  • Pola pikir dan perilaku kacau
Berbicara tidak runtut, berpindah topik tiba-tiba, atau kebingungan dalam bertindak.
(APA, DSM-5; NIMH, 2023).

2. Gejala Negatif

  • Ekspresi emosi datar
Bukan berarti tidak punya perasaan, tetapi sulit menampilkan ekspresi.
  • Menurunnya motivasi (avolition)
Kesulitan memulai aktivitas, bukan karena malas, tetapi karena perubahan fungsi otak.
  • Menarik diri dari interaksi sosial
Seringkali karena merasa kewalahan atau sulit memproses rangsangan sosial.
(NIMH, 2023; WHO, 2022).

3. Gejala Kognitif
  • Sulit fokus pada satu tugas.
  • Sulit mengingat informasi yang baru dipelajari.
  • Kesulitan merencanakan atau mengambil keputusan.
Gejala ini sering tidak terlihat, tetapi sangat mempengaruhi aktivitas harian.
(WHO, 2022).

Apa Penyebabnya?

Penyebab skizofrenia bersifat multifaktorial, bukan satu hal tunggal. Faktor yang berperan antara lain:
  • Genetik atau riwayat keluarga,
  • Ketidak seimbangan neurotransmitter di otak,
  • Stres berat atau trauma pada masa perkembangan,
  • Faktor lingkungan, seperti tekanan sosial atau pengalaman hidup yang penuh stres.
Skizofrenia bukan kesalahan siapa pun. Bukan orangnya, bukan keluarganya, dan bukan karena “kurang kuat iman”.

Bisakah Dicegah?

Bisa pencegahan dini mencakup : 

  • Menjaga kesehatan mental sejak dini,
  • Mengelola stres dengan baik,
  • Tidur cukup dan gaya hidup seimbang,
  • Konsultasi lebih awal bila muncul tanda-tanda awal.

Bagaimana Bersikap Ketika Bertemu Penderita?

Jika seseorang tampak mengalami gejala psikotik atau perilaku yang membingungkan, yang terpenting adalah:
  • Tetap tenang dan tidak panik,
  • Berbicara dengan suara lembut, tidak menginterogasi,
  • Hindari berdebat atau memaksa mereka “sadar” 
  • Jauhkan dari kerumunan atau sumber keributan,
  • Temani dengan tenang sampai bantuan datang,
  • Hubungi tenaga profesional seperti psikolog, psikiater, atau layanan gawat darurat.

Keberadaan orang sekitar yang tenang dapat membantu meredakan stres dan mencegah situasi memburuk.


Mengakhiri Stigma, Memulai Pemahaman

Skizofrenia adalah kondisi medis yang dapat dikelola. Penderitanya bukan sosok yang harus dijauhi, tetapi individu yang membutuhkan dukungan, pemahaman, dan akses layanan kesehatan mental yang layak.

Dengan informasi yang tepat, kita bisa turut membangun lingkungan sosial yang lebih inklusif, ramah, dan bebas stigma. Karena pada akhirnya, kesehatan mental bukan hanya milik mereka yang mengalami gangguan, tetapi juga tanggung jawab kita sebagai masyarakat.